ANALISIS TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP PADA POKOK BAHASAN BANGUN
RUANG MELALUI PEMBELAJARAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL)
(Studi Kasus di SMPN 2 Arjasari Kec.
Arjasari Kab. Bandung)
USULAN
PENELTIAN
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar
Magister Pendidikan Matematika
disusun
oleh:
SAEPULOH
NPM 108612036
MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP PADA POKOK BAHASAN BANGUN
RUANG MELALUI PEMBELAJARAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL)
(Studi Kasus di SMPN 2 Arjasari Kec.
Arjasari Kab. Bandung)
USULAN
PENELTIAN
disusun
oleh:
SAEPULOH
NPM 108612036
Usulan Penelitian ini
telah memenuhi persyaratan karya tulis ilmiah dan telah diseminarkan serta
disetujui oleh Tim Pembimbing
Bandung, 16 Desember 2011
TIM PEMBIMBING
Pembimbing Utama, Pembimbing
Pendamping,
Prof. Dr. H. Rully
Indrawan, M.Si. Dr.
Hj. R. Poppy Yaniawati, M.Pd.
NIP. 196103061985031003 NIP. 196801211992032001
Mengetahui,
Pimpinan Program Magister
Pendidikan Matematika
H. Bana G. Kartasasmita,
Ph.D.
NIP. 130676130
Judul : ANALISIS TERHADAP MOTIVASI BELAJAR DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP PADA POKOK BAHASAN
BANGUN RUANG MELALUI PEMBELAJARAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL)
(Studi Kasus di SMPN 2 Arjasari Kec.
Arjasari Kab. Bandung)
A.
Latar Belakang Masalah
Untuk
menghadapi tantangan globalisasi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan
informasi, diperlukan kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, dan kreatif,
serta mempunyai life skill
(keterampilan hidup) sehingga mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
Kemampuan seperti ini dapat dikembangkan melalui pendidikan matematika. Sebagaimana
menurut Rieddesel, Schwarz, dan Clements (Suryadi, 2009:170) bahwa matematika
merupakan problem posing dan problem solving. Dalam kegiatan
matematik, pada dasarnya anak akan berhadapan dengan dua hal yakni masalah - masalah
apa yang mungkin muncul atau diajukan dari sejumlah fakta yang dihadapi (problem posing) serta bagaimana
menyelesaikan masalah tersebut (problem
solving).
Pembelajaran
matematika di sekolah dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis,
sistematis, logis dan kreatif dalam pemecahan masalah. Pemecahan masalah adalah
suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan
yang diinginkan. Dalam pemecahan masalah ada 5 langkah yang harus dilakukan,
yaitu menyajikan masalah, menyatakan masalah dalam bentuk oprasional, menyusun
hipotesis - hipotesis alternatif dan prosedur kerja memecahakan masalah,
mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya, serta memeriksa
kembali atas semua langkah yang telah dilakukan (Ruseffendi, 2006:169).
Pemecahan
masalah merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika. Sebagaimana dalam
Standar Isi Mata Pelajaran Matematika (Depdiknas, 2006 : 346) bahwa tujuan
pembelajaran matematika adalah 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, effisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang
diperoleh; 4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Menurut
Sumarmo (Yuniawati, 2010:114) pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika
dapat berupa soal cerita atau soal yang tidak rutin, yaitu soal yang untuk
sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang mendalam,
mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan membuktikan,
menciptakan atau menguji konjektur. Dengan mengaplikasikan matematika dalam
kehidupan sehari - hari akan lebih terasa manfaatnya oleh siswa sehingga
motivasi belajarnya dapat meningkat. Disamping itu, kemampuan pemecahan masalah
siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis dan
kreatif.
Hasil
observasi dan wawancara dengan guru mata pelajaran matematika SMPN 2 Arjasari
Kabupaten Bandung, diperoleh data bahwa siswa kelas 8A yang lalu (Tahun
pelajaran 2010 - 2011) mengalami kesulitan dalam belajar matematika terutama
pokok bahasan bangun ruang mereka sangat lemah dalam pemecahan masalah bangun
ruang terutama masalah-masalah yang konstektual. Selain itu tingkat
kehadirannya sangat rendah, bahkan ketika ulangan atau ujian pun ada yang bolos
sekolah, alasan mereka tidak sekolah bervariatif mulai dari sakit, membantu
orang tua bekerja, ada yang menjawab malas, dan ada juga yang gak dikasih bekal
sama orang tuanya. Ketika ditanya bagaimana dengan siswa kelas 8A sekarang,
guru tersebut menjelaskan bahwa prestasi dan tingkat kehadiran siswa kelas 8A
tahun ajaran 2011-2012 SMPN 2 Arjasari Kabupaten Bandung masih kurang. Hal ini
dapat dilihat dari rata-rata hasil ulangan harian yang telah dilakukan masih di
bawah KKM. Berikut rekapitualsi rata - rata Nilai Ulangan Harian dan kehadiran
siswa kelas 8A SMPN 2 Arjasari semester ganjil tahun pelajaran 2011 - 2012 pada
tabel 1 berikut:
Tabel 1
Data Kehadiaran dan Rata-Rata Nilai Ulangan Harian
Semester Ganjil Matematika Tahun Pelajaran 2011 - 2012
Persentase
Kehadiran
|
Total
Absensi
|
Rata-rata
Nilai
|
Nilai
KKM
|
||
Alfa
|
Ijin
|
Sakit
|
|||
10,4
%
|
4,1
%
|
2,9
%
|
17,4
%
|
48,5
|
65
|
(Sumber:
Daftar Hadir dan Nilai Ulangan dari Guru Mata Pelajaran Matematika)
Melihat
kenyataan di atas, penulis tertarik untuk berupaya memberi motivasi kepada
siswa akan pentingnya belajar matematika serta kegunaannya dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk tercapainya tujuan yang dimaksud dalam proses pembelajaran
guru perlu memilih pendekatan pembelajaran yang tepat, yang dapat membantu
peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir, dan
mengaekspresiasiasikan ide mereka tersebut. Selain itu, pendekatan pembelajaran
yang dipilih oleh guru dalam proses pembelajaran harus dapat menumbuhkan
motivasi belajar pada peserta didik, sehingga mereka lebih bersemangat dan
bergairah untuk melakukan serangkaian kegiatan belajar. Motivasi merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar. Sebagaimana hasil penelitian
Fyan dan Maehr (Suprijono, 2010: 162) bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar yaitu latar belakang keluarga, kondisi atau konteks sekolah
dan motivasi.
Pendekatan
pembelajaran adalah suatu jalan, cara, atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru
atau siswa dalam pencapaian tujuan pengajaran dilihat dari sudut bagaimana
proses pengajaran atau materi pengajaran itu, umum atau khusus, dikelola
(Ruseffendi, 2006:240). Menurut Komalasari (2010:54) terdapat dua jenis pendekatan
pembelajaran, yaitu pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa dan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru.
Upaya
yang dilakukan penulis untuk meningkatkan motivasi belajar pada siswa
diantaranya dengan mencoba menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat
pada siswa, yaitu contextual teaching and
learning (CTL) dimana guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara
pengetahuan - pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Sebagaimana menurut Blanchard, Berns, dan Ericksion
(Komalasari, 2010 : 6) mengemukakan bahwa:
Contextual
teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps
teachers relate subject matter content to real world situation; and motivates
students to make connections between knowledge and its applications to their
lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that
learning requires.
Blanchard
(Komalasari, 2010 : 7) mengidentifikasikan beberapa karakteristik pendekatan
kontekstual, yaitu : (1) relies on
spatial memory (bersandar pada memori mengenai ruang), (2) typically integrated multiple subjects
(mengintegrasikan berbagai subjek materi), (3) value of information is based on individual need (nilai informasi
berdasarkan kebutuhan siswa), (4) relates
information with prior knowledge
(menghubungkan informasi dengan pengetahuan awal siswa), dan (5) authentic assessment thought practical
application or solving of realistic problem (penilaian sebenarnya melalui
pemecahan masalah nyata).
Ditjen
Dikdasmen (Komalasari,2010:24) menegaskan bahwa pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) harus
menekankan pada hal-hal berikut:
1)
Belajar berbasis masalah, yaitu
pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah.
2)
Pengajaran authentik, yaitu pengajaran
yang memperkenankan siswa untuk mempelajari kontek bermakna, untuk
mengembangkan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah di dalam kontek
kehidupan nyata.
3)
Belajar berbasis inquiri yang
membutuhkan strategi pengajaran yang mengakui metodologi sains dan menyediakan
kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4)
Belajar berbasis proyek yang membutuhkan
pengajaran yang komprehensif dimana lingkungan belajar siswa didesain agar
siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah authentik.
5)
Belajar berbasis kerja adalah pengajaran
yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari
materi pelajaran berbasis sekolah.
6)
Belajar jasa layanan yang memerlukan
penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat
dengan suatu struktur berbasis sekolah.
7)
Belajar kooperatif yang memerlukan
pendekatan melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan
kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Berdasarkan
latar belakang pemikiran diatas, yang menjadi masalah dalam penelitian adalah:
“ Bagaimana contextual teaching and
learning (CTL) dapat meningkatkan Motivasi Belajar dan Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa pada Pokok Bahasan Bangun Ruang”
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, pernyataan masalah
dalam penelitian ini, bahwa motivasi belajar siswa kelas 8A di SMPN 2 Arjasari dan kemampuan
pemecahan masalah matematisnya rendah.
Berdasarkan pernyataan masalah diatas, maka rumusan masalahnya
sebagai berikut:
1.
Bagaimana peningkatan motivasi belajar
siswa kelas 8A di SMPN 2 Arjasari pada pokok bahasan bangun ruang sebelum dan
sesudah pembelajaran contextual teaching
and learning (CTL)?
2.
Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa kelas 8A di SMPN 2 Arjasari Kab. Bandung pada pokok bahasan bangun ruang
melampaui nilai KKM dengan menggunakan pembelajaran contextual teaching and learning (CTL)?
3.
Apakah terdapat korelasi antara motivasi
belajar dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas 8A di SMPN 2
Arjasari pada pokok bahasan bangun ruang?
4.
Aspek yang manakah dalam pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) pada
pokok bahasan bangun ruang yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa?
5.
Aspek kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang manakah yang mengalami perkembangan dalam pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) pada
pokok bahasan bangun ruang?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diajukan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menemukan aspek-aspek
pendidikan yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa kelas 8A di SMPN 2
Arjasari pada pokok bahasan bangun ruang melalui contextual teaching and learning (CTL).
2.
Untuk mengetahui dan menemukan
spek-aspek dalam contextual teaching and
learning (CTL) yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
kelas 8A di SMPN 2 Arjasari Kab. Bandung pada pokok bahasan bangun ruang
melampaui nilai KKM
3.
Untuk mengetahui terdapat atau tidanya
korelasi antara motivasi belajar dan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa kelas 8A di SMPN 2 Arjasari pada pokok bahasan bangun ruang.
4.
Untuk
mengetahui sikap siswa kelas 8A di SMPN 2 Arjasari terhadap
penerapan contextual teaching and
learning (CTL) pada pokok bahasan bangun ruang.
Secara teoritis kegunaan penelitian ini, untuk membantu
meningkatkan proses pembelajaran. Adapun secara praktis kegunaan penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya dan melengkapi hasil-hasil penelitian di bidang
pendidikan yang telah dilakukan.
Selanjutnya hasil-hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan.
D. Kajian Teori
1. Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
Pembelajaran contextual teaching and learning merupakan
pembelajaran yang memungkinkan siswa menemukan hubungan dan menerapkan
pemahaman serta kemampuan akademik mereka dalam berbagai variasi konteks, di
dalam maupun di luar kelas, untuk menyelesaikan permasalahan nyata atau
masalah-masalah yang dihadapi mereka secara individu atau kelompok dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana menurut Hull’s dan Sounders (Komalasari,
2010: 6) menjelaskan:
In
a contextual teaching and learning (CTL), student discover meaningful
relationship between abstract ideas and practical applications in a real world
context. Students internalize concepts through discovery, reinforcement, and
interrelationship. CTL creates a team, whether in the classroom, lab, worksite,
or on the banks of a river. CTL encourages educators to design learning
environments that incorporate many forms of experience to achieve the desired
outcomes.
Pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) memiliki beberapa
karakteristik yang dapat membedakan dengan pendekatan pembelajaran yang
lainnya. Blanchard (Komalasari, 2010 : 7) mengidentifikasikan beberapa
karakteristik pendekatan kontekstual, yaitu : (1) relies on spatial memory (bersandar pada memori mengenai ruang),
(2) typically integrated multiple
subjects (mengintegrasikan berbagai subjek materi), (3) value of information is based on individual
need (nilai informasi berdasarkan kebutuhan siswa), (4) relates information with prior knowledge (menghubungkan
informasi dengan pengetahuan awal siswa), dan (5) authentic assessment thought practical application or solving of
realistic problem (penilaian sebenarnya melalui pemecahan masalah nyata).
Sementara menurut Suryadi (2009:181) pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) secara umum bercirikan
beberapa hal beikut: berbasis masalah, self-regulated (belajar mengatur
sendiri), muncul dalam berbagai variansi konteks yang meliputi masyarakat dan
tempat kerja, melibatkan kelompok belajar, dan responsif terhadap perbedaan
kebutuhan serta minat siswa.
Dari
pandangan-pandangan tentang karakteristik pembelajaran contextual teaching and learning (CTL), bahwa dalam pembelajaran
kontekstual terdapat konsep keterkaitan, konsep pengalaman langsung, konsep
aplikasi, konsep kerjasama, konsep pengaturan diri, dan konsep penilaian authentik.
Indikator
masing-masing konsep tersebut (Komalasari, 2010:13) adalah:
a.
Keterkaitan
Pembelajaran
yang menerapkan konsep keterkaitan adalah proses pembelajaran yang memiliki
keterkaitan antara konsep atau pengetahuan yang telah ada pada diri siswa
dengan kontek pengalaman kehidupan nyata. Indikatornya adalah: (a) pengetahuan
atau keterampilan sebelumnya, (b) materi lain dalam pelajaran matematik, (c)
mata pelajaran lain, (d) ekspose media, (e) konteks lingkungan, (f) pengalaman
dunia nyata, dan (g) kebutuhan siswa
b.
Pengalaman langsung
Pembelajaran
yang menerapkan konsep pengalaman langsung adalah proses pembelajaran yang memberikan
siswa untuk mengkontruksi pengetahuan dengan cara menemukan dan mengalami
sendiri secara langsung. Indikatornya adalah eksplorasi, penemuan, inventory,
investigasi, penelitian, dan pemecahan masalah.
c.
Aplikasi
Proses
pembelajaran yang menerapkan konsep aplikasi adalah proses pembelajaran yang
menekankan pada penerapan konsep, prinsip, dan prosedur yang dipelajari dalam
situasi dan kontek lain sehingga bermanfaat bagi siswa. Indikatornya adalah
penerapan materi pada kehidupan sehari-hari, dan penerapan materi dalam
pemecahan masalah
d.
Kerjasama
Pada
konsep ini, proses pembelajaran mendorong kerjasama diantara siswa, siswa
dengan guru dan sumber belajar. Indikatornya adalah kerja kelompok dalam
memecahkan masalah, saling bertukar pikiran, mengajukan dan menjawab pertanyaan,
komunikasi interaktif antar sesama siswa, siswa dengan guru dan narasumber
lainnya, dan penghormatan terhadap perbedaan.
e.
Pengaturan diri
Pada
konsep ini, siswa didorong untuk mengatur diri dan belajar secara mandiri.
Indikatornya adalah motivasi belajar sepanjang hayat, motivasi untuk mencari
dan menggunakan informasi dengan kesadaran diri, melaksanakan prinsip trial-error, melakukan refleksi, dan
belajar mandiri.
f.
Penilaian authentik
Pada
konsep ini, penilaian tidak hanya diserahkan pada guru, tetapi siswa pun
menilai siswa lain dan dirinya sendiri dalam aktifitas pembelajaran dan
pemahaman materi.
Ditjen Dikdasmen
(Komalasari,2010:24) menegaskan bahwa pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) harus menekankan pada
hal-hal berikut:
1.
Belajar berbasis masalah, yaitu
pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah.
2.
Pengajaran authentik, yaitu pengajaran
yang memperkenankan siswa untuk mempelajari kontek bermakna, untuk
mengembangkan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah di dalam kontek
kehidupan nyata.
3.
Belajar berbasis inquiri yang
membutuhkan strategi pengajaran yang mengakui metodologi sains dan menyediakan
kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4.
Belajar berbasis proyek yang membutuhkan
pengajaran yang komprehensif dimana lingkungan belajar siswa didesain agar
siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah authentik.
5.
Belajar berbasis kerja adalah pengajaran
yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari
materi pelajaran berbasis sekolah.
6.
Belajar jasa layanan yang memerlukan
penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat
dengan suatu struktur berbasis sekolah.
7.
Belajar kooperatif yang memerlukan
pendekatan melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan
kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Sebagaimana menurut siswa
belajar secara berkelompok sebagaimana menurut Slavin (2008:7) bahwa
pembelajaran cooperative learning merupakan
model pembelajaran dengan siswa bekerja dalam kelompok yang memiliki kemampuan
heterogen.
Dari pendapat diatas,
ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan
model lainnya, yaitu modeling (pemusatan perhatian, motivasi,penyampaian
kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu,contoh), questioning
(eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan,mengembangkan, evaluasi,
inkuiri, generalisasi), learning community (seluruh siswa partisipatif dalam
belajar kelompok atau individual, minds-on, hands-on, mencoba, mengerjakan),
inquiry (identifikasi,investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi,
menemukan),constructivism (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan,
analisis-sintesis), reflection (reviu, rangkuman,tindak lanjut), authentic
assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian
terhadap setiap aktvitas-usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian
seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara).
Kelebihan dalam
pembelajaran contextual teaching and
learning (CTL) adalah pembelajaran berbasi masalah, berorientasi pada
siswa, guru lebih berperan sebagai fasilitator, dan menganut sistem penilaian
yang menyeluruh dan menyatu dimana penilaian bukan hanya dilakukan oleh guru
melainkan oleh siswa itu sendiri.
2. Motivasi belajar siswa
Menurut Muhibin Syah (1995:136) pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal orgasme
(baik manusia maupun hewan) yang mendorongnya untuk berbuat
sesuatu. Sedangkan menurut Tabrani Rusyan (1994 : 99) motivasi adalah penggerak tingkah laku kearah suatu
tujuan dengan didasari adanya suatu kebutuhan. Dari pengertian ini, motivasi
menjadi pemasok daya utuk bertingkah sesuatu secara terarah.
Motivasi itu sendiri merupakan faktor psikis yang
berperan untuk menumbuhkan gairah, merasa senang dan semangat dalam melakukan
sesuatu. Seperti halnya jika seorang
siswa memiliki motivasi yang kuat, akan memiliki banyak energi untuk melakukan
kegiatan belajar. Sebagaimana menurut M.
Ngalim Purwanto (1990:107) bahwa fungsi motivasi adalah untuk menggerakan atau
menggugah sesorang agar timbul keinginan dan kemauannya untuk melakukan sesuatu
sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu. Dan
menurut Elliot (Sukartini dan Baihaqi, 2009:141) bahwa tujuan atau keinginan
anak didik mempengaruhi cara belajar sesuai dengan sifat akademis yang ingin
dicapainya.
Berdasarkan uraian di atas, motivasi belajar merupakan
kekuatan pendorong yang ada pada diri siswa untuk melakukan aktivita-aktivitas
belajar dalam rangka mencapai tujuan belajar. Menurut Sumiati
(2009:30) upaya untuk
mengenali apakah siswa mempunyai motivasi tinggi atau rendah dapat dilihat dari
kesungguhan,
ketelitian, ketekunan dan banyaknya dia mengikuti kegiatan dalam proses belajar
tersebut.
Menurut
Abin Syamsudin Makmun (2007:28) bahwa indikator motivasi belajar adalah a)
Durasi kegiatan belajar, b) Frekuensi kegiatan belajar, c) Ketekunan dalam
belajar, d) Ketabahan, keuletan, dan kemampuan menghadapi rintangan dan
kesulitan untuk mencapai tujuan, e) Tingkat aspirasi siswa dalam belajar, f)
Kesetiaan dan pengorbanan untuk meraih prestasi belajar, g) Tingkat kualifikasi
dan prestasi belajar, dan h) Arah sikap siswa dalam belajar.
3. Pemecahan masalah
Menurut NCTM
(Kansai,2009:10) menyebutkan kemampuan dasar matematika meliputi kemampuan
pemahaman, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, kemampuan koneksi,
dan kemampuan komunikasi. Diharapkan dengan kemampuan itu, siswa dapat
menggunakan kemampuan matematisnya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk
didalamnya bagaimana siswa mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Ruseffendi
(1991:336-337) mengemukakan bahwa suatu persoalan merupakan masalah bagi
seseorang bila persoalan itu tidak dikenalnya, dan orang tersebut mempunyai
keinginan untuk menyelesaikannya, terlepas apakah akhirnya ia sampai atau tidak
kepada jawaban masalah itu. Selanjutnya Ruseffendi mengemukakan bahwa persoalan
akan menjadi suatu permasalahan bagi seorang siswa; (1) bila siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma
tertentu dalam menyelesaikannya, (2) siswa harus mampu menyelesaikannya, (3)
bila ada niat untuk menyelesaikannya. Apabila salah satu dari ketiga hal tersebut
tidak terpenuhi, maka sebuah persoalan bukan suatu permasalahan. Apabila aturan
atau algoritma dalam menyelesaikan suatu masalah telah ada di dalam memori,
maka permasalah tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu masalah.
Berdasarkan hal di atas, pemecahan masalah dapat dipandang sebagai suatu bentuk
belajar yang mempersyaratkan adanya hal yang baru, yang kelak dapat terlihat
keberadaannya pada akhir kegiatan pembelajaran.
Menurut Herman
(2006:48) siswa harus menggunakan segenap pengetahuan, pengalaman, dan
kemampuannya, sehingga melalui proses seperti ini, mereka seringkali menemukan
pemahaman matematis baru. Menemukan solusi bukanlah satu-satunya tujuan dalam
pemecahan masalah, namun bagaimana siswa bekerja dalam proses menemukan solusi
menjadi bagian yang lebih penting. Siswa kerap kali harus mendapatkan
kesempatan dalam memformulasi, menggeluti dan memecahkan masalah kompleks,
berusaha keras dan ulet, dan harus didorong untuk mampu berpikir reflektif dari
apa yang mereka lakukan dan peroleh.
Menurut Anderson dan krathwohl (dalam Sopyan, 2008 :
19) Kemampuan pemecahan masalah
adalah proses kognitif bertalian dengan kemampuan analisis, evaluasi dan
kreasi; Bloom dalam taksonominya menggolongkan kedalam ranah berpikir
pengetahuan tingkat tinggi (higher order or higher level cognitive
processes). Proses berpikir ini melibatkan kemampuan membedakan (differentiating),
pengorganisasian (organizing), atribusi (attributing), pengecekan
(checking), mengkritik (critiquing), penyimpulan (generating),
perencanaan (planning), dan produksi (producing).
Menurut Henderson
(dalam
Dedy Sopyan, 2008: 23) melakukan
modifikasi 4 (empat) langkah pengajaran pemecahan masalah dari Donald Schoen (1988) yang
terdiri dari (1) mengobservasi apa yang dikatakan dan dikerjakan pelajar, (2)
memikirkan apa yang dikatakan dan dikerjakan pebelajar sebagai teka-teki guru
untuk dipecahkan, (3) menghimpun jembatan penghubung antara apa yang dimengerti
dan pokok bahasan, dan teka-teki dipecahkan ketika hubungan dibuat antara
pengetahuan yang belum pernah diketahui pebelajar (students’ naive
knowledge) dan pengetahuan sebelumnya tentang pokok bahasan. Dengan
demikian pemecahan masalah dalam pandangan refleksi pengajaran terdiri dari (1)
observasi dan refleksi, (2) identifikasi masalah berdasarkan observasi dan
refleksi, (3) percobaan satu atau lebih pemecahan masalah, dan (4) evaluasi dan
inquiry lebih lanjut. Hal tersebut sejalan dengan Polya
(dalam Dedy Sofayan, 2008: 25)
bahwa proses yang dapat dilakukan pada tiap langkah tentang bagaimana
memecahkan masalah adalah sebagai berikut:
1. Memahami masalah
Kompetensi siswa pada langkah ini adalah:
Menentukan: apa yang tidak diketahui? Apa datanya? Apa
kondisinya? Mungkinkah kondisi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan atau
yang lainnya? Apakah kondisi tersebut cukup atau berlebihan, atau kondisi
tersebut saling bertentangan? Buat diagram, tuliskan notasi yang cocok.
Pisahkan bagian-bagian yang berbeda dari kondisi tersebut. Dapatkah anda
menuliskan semuanya?
2. Membuat rencana pemecahan
Kompetensi siswa pada langkah ini adalah:
Menentukan : Pernahkah anda melihat soal ini sebelumnya?
Adakah soal yang sama atau serupa dalam bentuk lain? Tahukah hubungan masalah
ini? Teori mana yang dapat digunakan dalam masalahnya? Perhatikan yang
ditanyakan! Coba pikirkan masalah yang pernah dijumpai dengan pertanyaan yang
sama atau serupa! Jika ada soal yang serupa dan pernah diselesaikan sebelumnya,
dapatkah pengalaman yang lama digunakan? Dapatkah menggunakan hasil dari soal
serupa itu? Dapatkah Anda menggunakan metodenya? Apakah Anda harus mencari
unsur lain agar dapat dimanfaatkan soal semula? Dapatkah Anda menyatakan dalam
bentuk lain? Kembalikan ke definisi. Andaikan soal baru belum dapat
diselesaikan, coba pikirkan soal serupa dan selesaikan. Dapatkah Anda
menggunakan metodenya? Apakah Anda harus mencari unsur lain agar dapat
dimanfaatkan soal semula? Dapatkah Anda menyatakan dalam bentuk lain?
Kembalikan ke definisi. Andaikan soal baru belum dapat diselesaikan, coba pikirkan soal serupa dan selesaikan.
3. Menjalankan rencana
Laksanakan
rencana pemecahan, periksa setiap langkahnya. Apakah semua langkah sudah benar? Dapatkah Anda
membuktikan bahwa langkah tersebut sudah benar?
4. Melihat kembali hasil
Bagaimana
memeriksa hasil yang sudah diperoleh? Dapatkah memeriksa sanggahannya? Dapatkah
mencari hasilnya dengan cara yang berbeda? Dapatkah melihatnya secara sekilas?
Dapatkah hasil atau cara itu digunakan untuk masalah lain?
Indikator pemecahan
masalah matematika antara lain: (a) mengidentifikasi
unsur–unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan, (b) merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika,
(c) menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan
masalah baru) dalam atau luar matematika, dan (d) menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil permasalahan menggunakan matematika secara bermakna
(Sumarno,2003).
E. Hipotesis
Hipotesis
adalah penjelasan atau jawaban sementara tentag tingkah laku, fenomena, atau
kejadian yang akan terjadi, bisa juga mengenai kejadian yang sedang berjalan
(Ruseffendi, 2005 : 23).
Sebelum
merumuskan hipotesis dari kerangka berfikir diatas, penulis menyatakan beberapa
asumsi (anggapan dasar) sebagai berikut:
1.
Perbedaan
tingkat intelegesi dianggap tidak mempunyai pengaruh yang berarti.
2.
Masing-masing
siswa belajar menurut caranya sendiri.
Berdasarkan
kerangka berfikir dan asumsi yang diberikan, maka penulis mengemukakan
hipotesis sebagai berikut :
1.
Terdapat
peningkatan motivasi belajar siswa pada pokok bahasan bangun ruang melalui pembelajaran contextual teaching and learning
(CTL).
2. Terdapat
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada pokok bahasan
bangun ruanga melalui pembelajaran contextual
teaching and learning (CTL).
3.
Terdapat korelasi antara motivasi dan
kemampuan pemecahan masalah siswa dalam pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) pada pokok bahasan bangun
ruang.
F. Operasional
Variabel
Operasionalisasi variabel
merupakan proses menyederhanakan data konsep menjadi data yang lebih mudah
dibaca. Dalam rangka memudahkan proses analisa data, maka semua variabel
penelitian dioperasionalisasikan ke dalam indikator-indikator agar mampu
mendeskripsikan kejadian yang dapat diuji kebenarannya sesuai data di lapangan.
Operasionalisasi variabel yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi :
a). Variabel X1 : Contextual Teaching and Learning (CTL)
Tabel 2
Perincian Variabel X1
No
|
Variabel
|
Operasional
Variabel
|
Indikator
|
Instrumen
|
Responden
|
1.
|
Variabel (X1) :
contextual teaching and learning (CTL)
|
Mengukur tingkat aktifitas belajar siswa
|
1. Kerjasama
2. Tanggung jawab perseorangan
3. Interaksi antar anggota
kelompok
4.
Pemprosesan
kelompok
|
1. Angket
2. Observasi
|
Siswa
|
b). Variabel Y1 : Motivasi Belajar Siswa
Tabel 3
Perincian Variabel Y1
No
|
Variabel
|
Operasional
Variabel
|
Indikator
|
Instrumen
|
Responden
|
1.
|
Variabel (Y1) :
Motivasi belajar siswa
|
Mengukur tingkat motivasi belajar siswa
|
1. Kesungguhan
2. Ketelitian
3. Ketekunan
4.
Intensitas
megikuti pelajaran
|
1. Angket
2. Wawacara
3. Observasi
|
1.
Siswa
2.
Guru
|
c). Variabel Y2 : Kemampuan
Pemecahan Masalah
Tabel 4
Perincian Variabel Y2
No
|
Variabel
|
Operasional
Variabel
|
Indikator
|
Instrumen
|
Responden
|
1.
|
Variabel (Y2) : Pemecahan masalah
|
Mengukur tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa
|
1.
Mengidentifikasi unsur–unsur yang diketahui, yang
ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan,
2.
Merumuskan masalah matematika atau menyusun model
matematika,
3.
Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai
masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika,
4.
Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil
permasalahan menggunakan matematika secara bermakna
|
Test
|
Siswa
|
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian dengan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif yang
bersifat deskriptif. Dengan menggunakan metode penelitian
ini, diharapkan dapat dijelaskan
mengenai analisis terhadap motivasi belajar dan kemampuan pemecahan masalah
siswa melalui pembelajaran contextual
teaching and learning (CTL).
2.
Subjek Penelitian
Yang menjadi objek/subjek
penelitian ini adalah siswa kelas 8A di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2
Arjasari Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung. Menurut Sugiyono (2001:57)
populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu sesuai permasalahan penelitian
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data yang dipergunakan dilakukan dalam rangka memperoleh
data akurat melalui teknik sebagai
berikut:
1)
Angket :
Data dan informasi
dikumpulkan dari para responden dengan cara membuat sejumlah pertanyaan atau
pernyataan yang bersifat tertutup (berstruktur) (ruseffendi, 1991:111). Dalam angket, setiap pertanyaan telah
disediakan alternatif jawaban yang harus dipilih oleh responden.
2)
Observasi :
Yaitu pengumpulan data secara langsung
dengan melihat ke lapangan atau subyek –
subyek penelitian.
3)
Wawancara :
Yaitu pengumpulan data melalui
tanya jawab langsung dengan subyek-subyek penelitian yang kompeten dengan
permasalahan yang diteliti.
4)
Test
Tes yang
dilakuakn ada dua kali, yaitu pre-test dan post-test
4. Validitas dan
Realibilitas Instrumen
1). Uji Validitas
Uji validitas dilakukan
dengan cara mengukur hubungan keeratan masing-masing skor jawaban dan
masing-masing skor pertanyaan skor dengan menggunakan analisis korelasi ”Product Moment” (Suharsini Arikunto,
1998:160), sebagai berikut:
a. Mencari rxy atau r hitung :
Keterangan
:
r xy
= Kooefisien
korelasi product moment
∑xy =
Jumlah Product x dan y
∑ x2 =
Variabel Independen yang dikuadratkan
∑ y2 =
Variabel dependen yang dikuadratkan
b. Hasil r xy ini
dikonsultasikan dengan r tabel untuk mengetahui taraf signifikan adalah
sebagai berikut :
r hitung
> r tabel pada taraf 1
% = Sangat Signifikan
r hitung
> r tabel
pada taraf 5 % = Signifikan
r hitung < r tabel pada taraf 5
% = Tidak Signifikan
2). Uji Realibilitas
Uji
reliabilitas yang digunakan adalah dengan menggunakan rumus Spearman-Brown
(Suharsini Arikunto, 1998:173) dengan teknik belah dua ganjil-genap yang
kemudian dikorelasikan sebagai berikut :
|
Ket
:
r 11 = reliabilitas instrumen
r 1/21/2 = r xy yang disebut sebagai
indeks korelasi belahan antara dua
belahan
instrumen
6. Teknik Analisis Data
1) Data
Kualitatif
Data dari wawancara dan observasi akan diolah dan dianalisis,
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Mengorganisir
informasi.
b.
Membaca
keseluruhan informasi dan memberi kode.
c.
Membuat
suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya.
d.
Peneliti
menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.
e.
Selanjutnya
peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari
kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain.
f. Menyajikan secara naratif.
2) Data
Kuantitatif
Data yang telah dikumpulkan melalui test
dan angket akan diolah dengan program statistik dengan langkah-langkah sebagai
beikut:
a. Melalukan
uji normalitas
b. Melakukan
uji homogenitas
c. Melakukan
analisis korelasi
d. Melakukan
uji t.
7. Lokasi dan Jadwal Penelitian
1). Lokasi Penelitian
Penelitian tentang pengaruh motivasi belajar siswa dalam
upaya meningkatkan cara belajar siswa serta dampaknya terhadap prestasi belajar
siswa dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Arjasari Kab.
Bandung.
2). Jadwal Penelitian
Jadwal
penelitian disesuaikan dengan jadwal akademik Program Pascasarjana Magister Pendidikan
Matematika Universitas Pasundan sebagai berikut :
Tabel 5
Jadwal Waktu
Tahapan
Penelitian
|
Waktu (Bulan)
|
Pengajuan Judul Tesis
|
Nopember 2011
|
Bimbingan Usulan Penelitian
|
Nopember-Desember 2011
|
Ujian Seminar Usulan Penelitian
|
Desember 2011
|
Perbaikan Hasil Seminar
|
24 – 31
Desember 2011
|
Penelitian
Lapangan
|
Januari –
Februari 2012
|
Analisis Data
Penelitian
|
Maret 2012
|
Penyusunan
Hasil Penelitian
|
Maret - April 2012
|
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak, Ishak.
2002. Metodologi Pembelajaran Orang
Dewasa, Bandung: Adira.
AM, Sardiman.
(2004). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Grafindo
Persada.
Arikunto, Suharsimi.
1998. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Depdikanas.
2008. Permendiknas No. 22 tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta :
Direktorat Menejemen Pendidikan dasar dan Menengah
Dimyati dan
Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta.
Iman Nurahman. 2011. Pembelajaran
Kooperatif Tipe Team-Accelerated Instruktion (TAI) untuk meningkatkan Kemampuan
Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis PPS UNPAS: Tidak
diterbitkan.
Isjoni. 2007. Contextual
teaching and learning : Efektifitas Pembelajaran Kelompok, Bandung :
Alfabeta.
Jacob, C. 2011. Pemecahan
Masalah Sebagai Tujuan Proses dan Keterampilan Dasar. Jurusan Pendidikan
FPMIPA UPI.
Kansai, M. 2009. Pendekatan
Pembelajaran Konstektual untuk Menigkatkan Kemampuan Penalaran dan Aplikasi
Konsep Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP): Studi Eksperimen di
SMPN Serui Propinsi Papua), Tesis PPS UPI: Tidak diterbitkan
Komalasari, K. 2010. Pembelajaran
Kontekstual: Konsep dan Aplikasinya, Bandung : Aditama.
Magister Pendidikan matematika Pascasarjana UNPAS. 2011. Pedoman Penulisan Tesis. Tidak
diterbitkan.
Nasution, S. 1982. Metode
Research, Bandung: Jemmars.
Ripandelli, April M. 2011. Contextual Teaching & Learning: Contextual Teaching of Social
Skills/Journal Writing.
Rosana, Dadan. 2009. Model
Pembelajaran Lima Domain Sains dengan Pendekatan Konstektual untuk
Mengembangkan Pembelajaran Bermakna: FMIPA UNY. Jurnal Pendidikan dan
Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta: Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia.
Ruseffendi. 2005. Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan
dan Bidang Non-Eksakta, Bandung: Tarsito.
Ruseffendi. 2001. Pengantar Kepada Membatu Guru
Mengembangkan Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA,
Bandung: Tarsito.
Ruseffendi. 1991. Penilaian Pendidikan dan Hasil
Belajar khususnya dalam Pengajaran Matematika, Tidak diterbitkan.
Rusyan, Tbarani. 1994. Pendekatan Proses Belajar Mengajar, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang
Mempengaruhinya, Jakarta : Rineka Cipta.
Slavin, Robert E. 2008. Contextual Teaching and Learning : Teori, Riset dan Praktik,
Bandung : Nusa Media.
Smith, Bettye P. 2006. Contextual Teaching and Learning Practices
In The Family and Consumer Science Curriculum. Ifraj shamsid-deen Columbia
Midlle Scholl, Dekalb Country Georgia. Journal of Family and Consumer Sciences
Education, Vol. 24, No.1, Spring/Summer, 2006. http://www.natefacs.org/JFCSE/v24no1/v24no1Shamsid-Deen.pdf.
Sopyan, Dedy. 2008. Pembelajaran Berbasis Masalah untuk meningkatkan Kemampuan Pemecahan
masalah dan Kemampuan Komunikasi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis pada
PPS UPI, Bandung : Tidak diterbitkan.
Sugiyono. 2008.
Metode Penelitian Pendidika: Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian, Bandung : Alfabeta
Sukartini,S.P dan Baihaqi, Mohamad IF. 2009. Teori
Evaluasi Pendidikan Bagian I Ilmu Pendidikan Teoritis. Dalam Ali, M., Ibrahim,
R., Sukmadinata,N.S., Suidjana, D., dan Rasjidin, W (Penyunting), Teori Psikologi Pendidikan. Bandung :
Imtima (Halaman 125 – 144).
Sumiati dan Asra .2009. Metode Pembelajaran, Bandung: Wacana prima.
Suprijono. 2010. Coperative
Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryadi, Didi. 2009. Teori Evaluasi Pendidikan Bagian III
Pendidikan Disiplin Ilmu. Dalam Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata,N.S.,
Suidjana, D., dan Rasjidin, W (Penyunting), Pendidikan Matematika. Bandung : Imtima
(Halaman 159 – 186).
Syah, Muhibin. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu
Pendekatan Baru. Bandung:
Rosdakarya.
Thabrany, H. 1994. Rahasia Kuci Sukses Belajar,
Jakarta: Grafindo Persada.
Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003. Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (http//www.depdiknas.go.id).
Usman, Moh Uzer. 1999. Menjadi Guru Profesional,
Bandung: Rosdakarya.
Purwanto, M. Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan,
Bandung: Rosdakarya.
Wahyudin. 2008. Kurikulum
Pembelajaran, dan Evaluasi: Pelengkap unutk Meningkatkan Kompetensi
Pendagogis Para Guru dan Calon Guru Profesional. Bandung : Ipa Ibong.
Widjayanti, Djamilah B dan Wahyudin, 2011. Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah
dan Belief Calon Guru Matematika Melalui strategi Perkuliahan Kolaboratif:
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta dan Sekolah Pascasarjana Universita
Pendidikan Indonesia. Cakrawala Pendidikan Jurnal Ilamiah, Ygyakarta: Ikatan
Srjana Pendidikan DIY.
Yuniawati, P. 2011. E-Learning:
Alternatif Pembelajaran Kontemporer, Bandung: Arfino Raya.